Rabu, 24 Juni 2009

Eny Kuncorowati sahabatku...

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0605/28/nasional/2685749.htm


Liburan Itu Berubah Jadi Tragedi Pilu
Kurniawan (25) tak henti menyeka air mata yang terus meleleh. Ia berusaha untuk tabah. Di depannya, dua perempuan kerabatnya terus menangis, dengan sesekali menyebutkan nama anak-anak yang terbaring kaku di depan mereka.

Ny Sutedjo (60), ibunda Kurniawan, menjadi korban gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/5) pagi. Warga Dusun Kwaron, Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, itu tewas seketika, tertimpa rumahnya yang runtuh. Tetapi, almarhumah tidak "pergi" sendiri.

Bersama Ny Sutedjo, di rumah itu, Ny Eny Kuncorowati (37) serta keduanya anaknya, Dewa (4) dan Icha (2,5) juga menjadi korban. Bersama mereka, di rumah Ny Sutedjo (yang menyatu dengan rumah anaknya), empat cucunya yang lain, Aan (10) dan adiknya, Hanif (9); serta Hegar (10) dan adiknya, Arsila (2), turut menjadi korban.

"Mereka sedang berlibur di rumah neneknya (Ny Sutedjo). Saat kejadian, mereka sedang menonton televisi. Dewa dan Icha baru datang dari Semarang hari Kamis lalu," papar Kurniawan sambil menangis. Batinnya terpukul.

Kedelapan korban tewas dalam satu keluarga itu tidak sempat menyelamatkan diri ketika atap dan dinding rumah Ny Sutedjo runtuh. Dua korban lain di rumah ini terluka parah, yakni Rita (36), anak Ny Sutedjo, dan putrinya, Rini (11). Keduanya masih dirawat di rumah sakit.

Sambil menangis, Kurniawan menunjukkan rumah warga lain di dusunnya yang hampir rata dengan tanah. Tak ada lagi rumah yang tegak, kokoh berdiri. Sebagian besar ambruk. Di dusun itu dilaporkan 14 warganya tewas.

"Anak-anak itu sedang menikmati liburan, namun mengapa malah menjadi begini…," papar Kurniawan. Kedelapan anggota keluarganya itu, Sabtu, dimakamkan bersama dalam satu liang di pemakaman umum Dusun Kwaron, setelah sebelumnya didoakan bersama di jalanan dusun itu.
Kehilangan semangat hidup

Di Desa Pandes, Kecamatan Wedi, Klaten, kedukaan juga menyergap. Saat itu tanah pekuburan masih basah dan peziarah belum seluruhnya beranjak. Sabtu itu, baru dilakukan penguburan terhadap ibu dan kedua anaknya yang menjadi korban tewas gempa bumi. Ketiganya adalah Ragil Parwanti (31), Dinda Nurasafana (5), dan Dafa Apriliano (1).

Suami dan ayah korban, Sumarno (36), terlihat pucat pasi. Ia seperti kehilangan semangat hidup. Bagaimana tidak, di depan mata kepalanya sendiri, ia harus merelakan kehilangan istri dan seluruh anaknya.
Ia dan istrinya baru 10 menit sampai di Pasar Gempol, Kecamatan Wedi, dan sedang membongkar dagangan makanan ringannya untuk ditata di lapak kaki lima. Tiba-tiba bumi bergoyang dan berputar. "Saya di dekat gerobak mengeluarkan makanan, lalu saya oper ke istri saya untuk ditata," ungkap Sumarno, sendu.
Saat itu, Ragil bekerja sambil menggendong anak bungsunya, Dafa. Dinda yang biasanya di dekat gerobak, kali ini dekat ibunya. Saat gempa, dua kios permanen di dekat mereka roboh menimpa ketiganya. "Dinda biasanya ikut neneknya, baru tiga hari ini entah mengapa sering ikut ibunya ke pasar," jelasnya.

Sumarno sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk bangun dan lari saja ia tidak mampu karena goyangan bumi yang kencang. "Saat itu saya berpikir mungkin akan mati. Sayup-sayup sempat terdengar istri saya memanggil, Pak, Pak, tetapi saya tidak bisa apa-apa. Mau lari jatuh, mau lari jatuh. Saya sempat kembali dan tertimpa genteng. Tetapi, karena saya tertimpa rangka, saya terhalang tertimpa bangunan langsung," ungkapnya dengan mata basah.
Seluruh orang di pasar panik sehingga Sumarno tidak bisa cepat mendapat pertolongan. "Baru 15 menit kemudian orang-orang datang menolong karena sebelumnya sibuk dengan keselamatan masing-masing," ceritanya dengan nada sedih.
Gempa bukan hanya merenggut jiwa orang yang dicintai, tetapi menggagalkan rencana pernikahan Sri Harmi, warga Pandes, Wedi pula. Calon suaminya, Parno, meninggal dunia tertimpa bangunan rumahnya. Ijab dan resepsi rencananya dilangsungkan hari Minggu (28/5).
Rencana pernikahan yang gagal juga terjadi di Kecamatan Prambanan dan Wedi, Klaten. Keluarga Panggih dari Sanggrahan, Prambanan, menggagalkan rencana pernikahan putrinya karena rumahnya hancur, meski tanpa korban jiwa.
Dampak bencana tidak kenal profesi. Seperti ribuan korban lainnya, Emanuel Teguh Basuki (57), pekerja di Gereja Katolik Kristus Raja, Baciro, Yogyakarta, juga meninggal seketika menjadi korban gempa bumi. Seperti pagi biasanya, Sabtu pagi itu, ia bersiap-siap membunyikan lonceng gereja menjelang pukul 06.00. Tanpa firasat apa pun, ia memegang tali lonceng dan segera membunyikannya. Belum lagi lonceng di tengah gedung gereja itu berbunyi, gempa menghancurkan gereja.

Korban gempa yang sebagian besar luka dan patah tulang banyak yang tidak tertangani oleh rumah sakit (RS) di DI Yogyakarta. Di halaman RS Rachma Husada, di Jalan Parangtritis, Patalan, Kabupaten Bantul, terdapat sedikitnya lima pasien luka dibiarkan tergeletak dengan hanya beralaskan kasur atau tikar. Beberapa pasien dibawa pulang kembali oleh keluarga mereka dengan memakai kereta kayu.

Kondisi serupa juga terjadi di RS Panti Rini di Kecamatan Prambanan, Sleman. Sejumlah pasien luka tergeletak di selasar RS dan di halaman. Di RS Bethesda, Yogyakarta, sejumlah pasien juga dirawat di halaman dan trotoar jalan karena RS dipenuhi pasien. Sebagian besar keluarga pasien juga enggan dirawat dalam ruangan karena khawatir adanya gempa susulan. "Semula pasien di sini sempat dirawat di dalam gedung. Tetapi, karena ada gempa susulan, akhirnya mereka memilih berada di halaman RS saja," kata Komisaris Polisi Dewanti dari RS Bhayangkara, Yogyakarta.

RS juga terpaksa menolak pasien yang datang. Di RS Saint Elisabeth, Ganjuran, Kabupaten Bantul, pasien yang baru datang langsung dirawat sementara untuk kemudian dirujuk ke RS lain. Dr Rianto, Direktur RS Saint Elisabeth, mengakui, selain ruangan tidak bisa difungsikan, fasilitas yang mereka miliki pun kurang mendukung. (eki/wer/art/tra)